Ilustrasi pertambangan.
Ilustrasi pertambangan. (sumber: Pertambangan)
Jakarta - Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) meminta Menteri Keuangan untuk merevisi PMK N0.6/2014 tentang Bea Keluar (BK) barang mineral karena ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan stakeholder pelaku usaha tambang.
"Sungguh ironis, penetapan BK ini dilakukan sepihak tanpa menghiraukan semua pihak seperti pengusaha pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) tembaga," kata Ketua ATEI Natsir Mansyur di Jakarta, Kamis (23/1).
Menurut Natsir, pihaknya sangat mengapresiasi semangat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba), PP Nomor 1 Tahun 2014 dan Permen ESDM Nomor 1/2014 untuk mendorong hilirisasi yang sudah baik dan jelas. Namun, penetapan BK oleh Menkeu dinilai bertolak belakang dengan semangat hilirisasi karena membawa dampak yang negatif bagi kelangsungan usaha sektor pertambangan.
"Bisnis mineral bisa rusak, tutup usaha, PHK, kredit macet, pergerakan ekonomi daerah lambat. Jangan karena setoran APBN kurang, tapi malah membuat kebijakan yang menyusahkan pengusaha. Ini kan pemerintah berkesan tidak inovatif mengelola keuangan negara," katanya.
Dengan ketetapan BK yang diberlakukan, lanjut dia, diperkirakan bisnis sektor pertambangan menjadi defisit dan dapat menyebabkan tutup usaha. Dia menerangkan, jika BK tembaga 25 % dari harga FOB, maka Kadar ore 1 persen X 20 ton ore menjadi kosentrat 15 persen dan ongkos 20 ton X 200 ribu perton menjadi 4 juta per 15% konsentrat.
"Belum termasuk ongkos gali 25%, ongkos angkut 25%, ongkos pelabuhan 25% serta ekspedisi 25%. Biaya-biaya ini belum dipotong pajak BK 25%. Ini kan defisit dan dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan bisnis pertambangan," tambah Natsir.