Negeri yang Sedang Galau
Kepala Staf TNI AD Jenderal Pramono Edhie Wibowo membentuk tim investigasi internal karena ada laporan keterlibatan oknum TNI AD. Dalam era demokrasi digital, setiap orang bisa punya tafsir sendiri atas sebuah peristiwa, seperti juga dalam kasus Cebongan. Foto-foto, terlepas benar atau tidaknya substansi foto itu, tersiar luas, yang bisa memengaruhi persepsi
publik. Di Jakarta, polisi menembak mati perampok SPBU. Kita tarik beberapa hari lalu, Markas Polres Ogan Komering Ulu diserbu anggota TNI yang tak puas atas proses hukum penembakan anggota TNI oleh anggota polisi.
Inilah sebagian potret negeri yang galau. Kita miris melihat realitas kekerasan yang seakan sudah menjadi hal ”normal” di tengah ketidaknormalan kehidupan kita sehari-hari. Premanisme merajalela dan menyebarkan psikologi ketakutan. Rentetan kekerasan itu sebenarnya mengirimkan pesan yang keras: Indonesia memasuki era bahaya! Hukum tak lagi dihormati dan kekuatanlah yang menggantikan hukum dan sistem hukum itu sendiri!
Negara gagal menjadi pagar terhadap kekerasan. Bahkan, dalam beberapa kejadian, justru aparat negaralah yang mempertontonkan bagaimana kekuatan dan kekerasan digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Kita kutip tulisan Prof Azyurmardi Azra di harian ini. Kian mewabahnya hukum rimba dan meluasnya keberantakan hukum (lawlessness) tidak ragu lagi merupakan salah satu indikator pokok negara gagal (failed state). Azyurmardi meminjam kesimpulan When States Fail: Causes and Consequences (editor Robert I Rotberg, 2003), negara gagal adalah negara yang tidak mampu memberikan kebajikan umum (public good) kepada warga, khususnya keamanan atas harta benda dan jiwa.
Kita angkat fenomena itu bukan untuk membangkitkan pesimisme, melainkan mengentak kita semua untuk mengoreksi perjalanan yang salah arah ini. Faktor pimpinan nasional memegang peran penting untuk mengoreksi itu semua. Dengan modal sosial yang dimiliki, kita tak ingin negara ini gagal. Karena itu, kita berharap setelah menyelesaikan masalah internal Partai Demokrat dan Kongres memilih Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum, Presiden bisa segera mengatasi persoalan ”hukum rimba” dan problem sosial-ekonomi lain.
Kita mengharapkan Yudhoyono bisa menjadi contoh bagi menterinya yang merangkap sebagai ketua umum partai. Sebagaimana sering dikatakan Yudhoyono yang meminta menterinya fokus pada urusan pemerintahan daripada parpol, kini sorotan publik akan tertuju pada sosok Presiden Yudhoyono sendiri bagaimana Presiden memfokuskan pada tugas pemerintahan yang kian kompleks daripada tugas parpol. Mencegah terjadinya ”hukum rimba” amat mendesak segera ditangani Presiden! Konstitusi harus jadi batu penjuru!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar