Halaman

Jumat, 15 Agustus 2014

MITOS DAN LAMBANG BURUNG GARUDA


Lambang Negara Republik Indonesia adalah BURUNG GARUDA. Mengapa Negara kita menggunakan lambang Negara seperti itu? Sejak kapan kita menggunakan lambang Negara tersebut? Apa saja arti dari Lambang Negara RI itu?

Seperti yang dikutip dari Alam Mengembang jadi Guru, Garuda (Sanskerta: Garuḍa dan Bahasa Pāli Garula) adalah salah satu dewa dalam agama Hindu dan Buddha. Ia merupakan wahana Dewa Wisnu, salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu. Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar sehingga dapat menghalangi matahari.

Bangsa Jepang juga mengenal Garuda, yang mereka sebut Karura. Di Thailand disebut sebagai Krut atau Pha Krut.

Indonesia dan Thailand menggunakan Garuda sebagai lambang negaranya. Ibukota mongolia, Ulan Bator juga menggunakan burung garuda sebagai lambang.

Dua Negara dengan Lambang relatif sama yaitu burung Garuda. Negara yang satu penduduknya memang banyak yg beragama BUDHA, sedangkan negara yg satu lagi penduduknya katanya menghargai keBUDHAyaan bangsa ….


Lambang ibukota mongolia, Ulan bator

 

Garuda menurut Mitologi Hindu
Garuda adalah seekor burung mitologis, setengah manusia setengah burung, wahana Wisnu. Kisah tentang burung Garuda ditemukan di Kitab Mahabharata, lebih tepatnya bagian pertama yaitu Adiparwa. Ceritanya Garuda adalah anak dari Begawan Kasyapa. Begawan Kasyapa memiliki dua istri, yaitu Sang Kadru dan Sang Winata. Setelah sekian lama, mereka belum juga memiliki anak. Lalu Kasyapa memberikan 1000 telur pada Kadru dan 2 telur pada Winata. Telur milik Kadru menetas menjadi 1000 ekor ular sakti, dan milik Winata belum. Karena Winata merasa malu, lalu ia memecah satu telur tersebut. Keluarlah seekor burung kecil yang belum sempurna bentuknya, cacat tak berkaki, diberi nama Anaruh. Telur yang tinggal 1 itu dijaga baik-baik oleh Winata.

Suatu hari, Winata kalah bertaruh dengan Kadru karena kecurangan kadru yang membuat Winata harus menjadi budak dan melayani Kadru beserta 1000 ekor ular. Dan telur Winata satunya pun akhirnya menetas menjadi Garuda. Besar, gagah, bersinar, dan sakti. Untuk menolong ibunya, Kadru menyuruh Garuda mengambil Amerta, air kehidupan milik dewa. Amerta dijaga para dewa dan dikelilingi api yang menyala. Garuda pun melawan para dewa dan menyembur dengan air laut untuk mematikan api tersebut. Pesan ibunya, “bila menelan orang lehermu terasa panas, itu tandanya Brahmana ikut termakan. Muntahkanlah, karena ia seperti ayahmu Begawan Kasyapa. Kamu harus menghormatinya”.

Berhasillah Sang Garuda merebut Amerta. Lalu dibawanya ke Kadru untuk menyelamatkan ibunya. 1000 ular sangat senang melihat amerta dan kemudian Winata dibebaskan, tetapi Garuda tak kehilangan akal. Dikibas-kibaskan sayapnya agar para ular menjadi kotor, dan mereka pergi membersihkan badan mereka di sungai. Saat para ular pergi, Garuda membawa Amerta kembali. Di perjalanan ia bertemu dengan Dewa Wisnu, meminta untuk Amerta diserahkan kembali kepada para dewa. Dan Sang Garuda pun menjadi tunggangan Dewa Wisnu.

 

Mengapa Garuda dipakai sebagai Lambang Negara Indonesia

Pada waktu itu Indonesia sedang mencari jati diri dibawah pimpinan Soekarno. Soekarno melihat bahwa kebudayaan indonesia yang asli adalah indonesia dimasa kerajaan2 hindu dan budha terutama pada puncaknya adalah Majapahit.

Maka waktu itu digalilah dengan gencar nilai-nilai sosial dan budaya dari kerajaan-kerajaan itu, untuk diterapkan kembali pada negara Indonesia yang baru. salah satunya adalah warna bendera Indonesia yang notabene adalah bendera kerajaan Majapahit.

Untuk lambang negara, Soekarno mengadakan sebuah sayembara. Dan akhirnya dia tertarik pada rancangan Sultan Hamid II yang berupa burung garuda (waktu itu belum spt sekarang). Ketertarikan Soekarno ini karena rancangan Sultan Hamid II dia pikir sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, yaitu kehindu-an dan kebudha-an.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Bangsa Indonesia bersukur karena umat islam yang banyak di negara indonesia saat ini, bisa dikatakan tidak ada yang memprotes lambang negara yang diambil dari mitologi hindu dan budha ini. Juga tidak ada yang berniat merubah lambang negara menjadi kaligrafi seperti foto dibawah ini:

 

Lambang Kerajaan Samudera Pasai

Jika diperhatikan sekilas, lambang kerajaan Aceh itu memang mirip dengan Garuda Pancasila. Lambang itu dibentuk dari kaligrafi arab menyerupai burung garuda. Di bagian tengah badannya terlihat kotak dengan rangkaian tulisan berwarna merah dan biru. Lambang ini berisi kalimat Tauhid dan Rukun Islam. Rinciannya, kepala burung itu bermakna Basmallah, sayap dan kakinya merupakan ucapan dua kalimat Syahadat. Terakhir, badan burung itu merupakan Rukun Islam.

 

Nama-nama Garuda
Garuda memiliki banyak nama dan julukan. Di bawah ini disajikan nama-namanya berikut artinya:

Nama-nama lain Garuda
Kaśyapi
Wainateya
Suparṇna
Garutmān
Dakṣāya
Śālmalin
Tārkṣya
Wināyaka

Nama-nama julukan
Sitānana, ‘wajah putih hijau’.
Rakta-pakṣa, ‘sayap merah’.
Śweta-rohita, ‘sang putih merah’.
Suwarṇakāya, ‘tubuh emas’.
Gaganeśwara, ‘raja langit’.
Khageśwara, ‘raja burung’.
Nāgāntaka, ‘pembunuh naga’.
Pannaganāśana, ‘pembunuh naga’.
Sarpārāti, ‘musuh ular-ular’.
Taraswin, ‘yang cepat’.
Rasāyana, ‘yang bergerak cepat sebagai perak’.
Kāmachārin, ‘yang pergi sesukanya’.
Kāmāyus, ‘yang hidup dengan senang’.
Chirād, ‘makan banyak’.
Wiṣṇuratha, ‘kereta Wisnu’.
Amṛtāharaṇa, ‘pencuri amerta’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar