Halaman

Sabtu, 27 September 2014

2 KISAH BERBEDA TENTANG IBU, ANAK DAN PENGADILAN



Ini adalah dua kisah nyata yang berkebalikan tentang ibu dan anak-anaknya yang berurusan di pengadilan. Yang satu terjadi di Indonesia, dan yang kedua terjadi di Arab Saudi. Semoga kisah-kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.

 

Kisah pertama
Fatimah, di usia senjanya yang sudah 90 tahun, tentu tak menduga jalan hidupnya akan demikian pahit. Ia digugat anak kandungnya ke meja hijau, di Pengadilan Negeri Tangerang, karena berkeras minta surat tanah yang sudah ia beli dari Nurhana, anaknya itu. Yang ia tak habis fikir, Nurhana, dibantu suaminya, tega-teganya menggugat ia, wanita yang telah melahirkannya, dengan uang 1 miliar rupiah. Fatimah jadi bingung sendiri, saat harus datang memenuhi panggilan sidang.

Seperti yang dikutip dari tribunnews.com, Tanah itu sendiri pada awalnya merupakan milik suami Nurhana, Nurhakim. Menurut Fatimah, tanah itu sendiri sudah dia beli dari Nurhakim sejak tahun 1987 lalu. “Saya beli tunai dengan harga Rp 10 juta waktu itu. Waktu itu kan harga tanah belum mahal. Sertifikat tanahnya pun masih saya pegang,” kata Fatimah sambil menunjukkan sertifikat tanah rumahnya tersebut.

Permasalahan muncul pada tahun 2011 lalu, dimana secara tiba-tiba Nurhakim dan Nurhana menyambangi rumah Fatimah lalu meminta balik tanah tersebut. Fatimah pun jelas menolak. “Nggak tahu ada apaan, pokoknya tiba-tiba anak saya sama mantu saya nuntut saya balikin tanah ini. Padahal kan saya udah beli,” kata Fatimah.

Perseteruan dan perang urat syaraf antara Fatimah dan Nurhana pun terus berlanjut hingga akhirnya pada Juni 2014 kemarin Fatimah dipanggil oleh Pengadilan Negeri Tangerang untuk sidang mediasi.

“Bayangin mas, lagi puasa-puasa saya diginiin sama anak sendiri. Saya makin sedih pas di surat gugatan ditulis mereka menggugat saya Rp 1 miliar. Uang dari mana, mas,” katanya.

Fatimah berharap, majelis hakim bisa berlaku adil, dengan menolak gugatan Nurhanah, dan menyatakan tanah yang dibelinya 10 juta itu, sebagai miliknya. Agar ke depan tidak lagi dirongrong anak dan menantunya.

 

Kisah Kedua
Di salah 1 pengadilan Qasim, Kerajaan Saudi Arabia, berdiri Hizan al Fuhaidi dengan air mata yang bercucuran sehingga membasahi janggutnya,,!! Kenapa? Karena ia kalah terhadap perseteruannya denan saudara kandungnya!!

Tentang apakah perseteruannya dengan saudaranya itu?? Tentang tanah kah?? atau warisan yang mereka saling perebutkan??

Bukan karena itu semua!! Ia kalah terhadap saudaranya terkait pemeliharaan ibunya yang sudah tua renta dan bahkan hanya memakai sebuah cincin timah di jarinya yang telah keriput,,

Seumur hidupnya, beliau tinggal dengan Hizan yang selama ini menjaganya,,

Tatkala beliau telah manula, datanglah adiknya yg tinggal di kota lain, untuk mengambil ibunya agar tinggal bersamanya, dengan alasan, fasilitas kesehatan dll di kota jauh lebih lengkap daripada di desa,,

Namun Hizan menolak dengan alasan, selama ini ia mampu untuk menjaga ibunya. Perseteruan ini tidak berhenti sampai di sini, hingga berlanjut ke pengadilan!!

Sidang demi sidang dilalui .. hingga sang hakim pun meminta agar sang ibu dihadirkan di majelis..

Kedua bersaudara ini membopong ibunya yang sudah tua renta yang beratnya sudah tidak sampai 40 Kg!!

Sang Hakim bertanya kepadanya, siapa yg lebih berhak tinggal bersamanya. Sang ibu memahami pertanyaan sang hakim, ia pun menjawab , sambil menunjuk ke Hizan, “Ini mata kananku!”

Kemudian menunjuk ke adiknya sambil berkata, “Ini mata kiriku!!

Sang Hakim berpikir sejenak kemudian memutuskan hak kepada adik Hizan, berdasar kemaslahatan-kemaslahatan bagi si ibu!!

Betapa mulia air mata yg dikucurkan oleh Hizan!!

Air mata penyesalan karena tidak bisa memelihara ibunya tatkala beliau telah menginjak usia lanjutnya. Dan, betapa terhormat dan agungnya sang ibu, yang diperebutkan oleh anak-anaknya hingga seperti ini.

Andaikata kita bisa memahami, bagaimana sang ibu mendidik kedua putranya hingga ia menjadi ratu dan mutiara termahal bagi anak-anaknya. Ini adalah pelajaran mahal tentang berbakti,, tatkala durhaka sudah menjadi budaya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar