Ilustrasi kesenjangan ekonomi.
Ilustrasi kesenjangan ekonomi. (sumber: AFP/ Getty Images)
Davos - Tanda-tanda pemulihan ekonomi global makin menguat, namun terlalu sedikit orang yang mendapat keuntungan dari hal ini, sehingga para pakar memperingatkan bahwa meningkatnya kesenjangan merupakan risiko terbesar yang dihadapi perekonomian dunia.
Indikator utama tampak sangat cerah: ekonomi global akan tumbuh 3,2% tahun ini, dibandingkan 2,4% tahun 2013, menurut estimasi Bank Dunia.
Namun bagi banyak orang di negara maju maupun berkembang atau emerging markets, pulihnya perekonomian dari krisis terburuk sejak 1930an ini bersifat siluman. Mereka tidak merasakannya dalam bentuk perbaikan kualitas hidup, artinya kesenjangan antara yang kaya dan miskin makin naik.
"Sejak krisis finansial global, terjadi pertarungan di bawah memperjuangkan lapangan kerja, upah dan standar hidup," kata Philip Jennings, Sekretaris Jenderal UNI Global Union.
Bank sentral di berbagai negara telah menyuntikkan dana triliunan dolar ke sistem keuangan dunia untuk menjaga kestabilan perekonomian mereka, sehingga harga saham dan real estatemelonjak, yang lagi-lagi hanya menguntungkan orang kaya.
Di saat yang sama, pemerintah berbagai negara memangkas lapangan kerja sektor publik, mengurangi proteksi bagi mereka yang bekerja di sektor swasta, memotong tunjangan kesejahteraan dan pelit soal dana pensiun. Yang paling menderita dari perubahan kebijakan ini adalah generasi muda. Perusahaan-perusahaan juga mengurangi lapangan kerja mereka.
Ajang World Economic Forum pekan ini, yang merupakan pertemuan tahunan elite bisnis dunia di lokasi wisata pegunungan Swiss, Davos, telah melakukan survei atas 700 pakar untuk mengetahui risiko terbesar yang dihadapi perekonomian global dalam 10 tahun ke depan.
Jawabannya: kesenjangan pendapatan yang makin lebar dan bisa menjadi penghalang besar bagi kerekatan sosial.
Masalah ketiga, setelah cuaca ekstrem, adalah pengangguran.
Eropa mungkin telah berhasil mengatasi krisis utang, namun berisiko “kehilangan satu generasi” yaitu mereka yang terlahir setelah runtuhnya Tembok Berlin hampir 25 tahun silam, karena kawasan itu tidak bisa menciptakan lapangan kerja yang memadai.
Tingkat pengangguran di kawasan Eurozone telah mencapai rekor 12% pada April 2013, yang berarti 19 juta warga angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan. Bagi mereka yang berumur di bawah 25 tahun, angkanya lebih buruk lagi – hampir satu dari setiap empat orang tidak punya pekerjaan.
Di mana ada lapangan kerja seperti Amerika Serikat, Inggris atau bahkan Spanyol, mereka ini digaji minim atau hanya bersifat karyawan kontrak, sehingga sulit bagi mereka untuk menabung, mendapat pengalaman dan membangun karir.
Banyak yang sudah menyerah setelah berkali-kali lamaran mereka ditolak atau karena gaji rendah. Pengangguran generasi muda yang kronis dan berlangsung lama bisa menciptakan krisis lain: masalah kesehatan yang akan menambah biaya miliaran dolar.
Di Davos, para kepala negara berkumpul dengan para pemimpin bank sentral dan top executives, yang rata-rata membayar US$ 20.000 (Rp 241 juta) untuk bisa hadir di luar tiket pesawat dan hotel.
Mereka akan ditanya soal meningkatnya kesenjangan, dan jawabannya akan sulit ditemukan.